Rabu, 29 April 2009

Mensikapi Perpecahan

Perpecahan merupakan sunnatullah yang terjadi dalam setiap umat, tak terkecuali umat islam. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua masuk neraka dan satu masuk surga.
Namun bukan berarti hal ini menjadi justifikasi (pembenar) atas terjadinya perpecahan ini. Tidak pula membiarkannya dan tidak ikut andil dalam mencegah terjadinya perpecahan.
Sebagai seorang muslim maka sudah menjadi kewajiban dengan tidak membiarkan kesesatan menyebar serta merajalela. Oleh karenanya berikut ini beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mensikapi perpecahan ini:
1. Memulai dengan ilmu
Hal ini sebagaiman yang dilakukan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Pada masa beliau hidup banyak sekali firqoh sesat yang menyebar di tengah masyarakat. Seperti Syi'ah, Shufi, Quburiyah, Jahmiyah, Mu'tazilah, Qodariyah, Bathiiyah, serta firqoh lainnya. Ketika beliau menyadari bahwa kerusakan ini tidak dapat diperbaiki kecuali dengan ilmu. Maka mulailah beliau mendalami dunia ilmu, terutama adalah Al Qur'an dan As Sunnah.
Walaupun beliau tumbuh berkembang di keluarga berilmu, hal tersebut tidak membuat beliau merasa cukup. Inilah yang menunjukkan hikmah beliau. Karena tidak ada hakim (orang berhikmah) kecuali memiliki ilmu bermanfaat. Orang yang tidak memiliki tak dapat memberi.
2. Menyebarkan ilmu
Setelah menguasai berbabagai cabang ilmu terutama kitab dan sunnah, maka beliau mulai menyebarkannya. Beliau bentuk halaqoh-halaqoh ilmu serta majelis ilmu. Lewat majelis dan halaqoh tersebut beliau sebarkan manhaj salaf. Beliau juga mengajak umat ini untuk berpegang teguh terhadap manhaj salaf.
Mengapa manhaj salaf? Sebab merekalah yang paling mengerti terhadap maksud dari al qur'an dan as sunnah, karena kedekatan mereka terhadap rasulullah  dan mereka paham terhadap sebab turunnya al qur'an. Selain itu keimanan terbatas dengan apa yang telah ada pada nabi dan para shahabatnya. Maka tidak ada iman kecuali iman mereka, dan tidak ada kebenaran kecuali kebenaran yang terdapat pada mereka.
3. Jidal (Diskusi/ dialog)
Inilah cara yang perlu ditempuh yakni dengan mengadakan debat / diskusi. Ini pula yang dilakukan oleh Ali ketika mengajak Khawarij kembali ke jalan yang benar. Beliau mengutus Abdullah bin Abbas ke perkampungan Khawarij untuk mengadakan diskusi serta bertanya kepada mereka sebab dendam mereka kepada Ali. Mereka mengemukakan 3 alasan. maka Ibnu Abbas pun menjawab dengan argumentasi yang sangat jelas, layaknya cahaya matahari menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman. Diskusi tersebut tidak saja membuat mereka terdiam namun juga mengerti serta menerima alas an yang dikemukakannya. Sehingga belum lagi debat itu selesai, 2000 orang Khawarij bangkit serentak mengatakan kepuasan mereka terhadap keterangan Ibnu Abbas. Mereka memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Ali dan kembali ke pangkuan ahlus sunnah wal jamaah.
Ibnu Taimiyah pun pernah menempuh cara yang sama. Ketika para pengikut madzhab sesat menentang kitab Aqidah Wasithiyah karangan beliau maka diadakan debat terbuka. Semua ulama madzhab tersebut hadir dihadapan sulthon serta disaksikan kerumuman manusia. Mereka mendebat syaikh islam dengan argumentasi yang banyak. Namun semua itu dapat beliau patahkan. Beliau juga menjelaskan bahwa aqidah karangan beliau tidaklah dari dirinya sendiri namun berdasarkan al qur'an dan as sunnah, serta ijma' salafush sholih. Sehingga selepas majelis banyak dari mereka memuji Ibnu Taimiyah serta kembali berpegang teguh dengan madzhab salaf.
4. Menulis buku
Cara lain yang dapat ditempuh yakni dengan menulis buku. Buku tersebut berisi penjelasan tentang firqoh / golongan sesat tersebut. Mulai dari pendiri, masa kemunculan, tokohnya, inti ajaran, serta sebab kesesatannya. Cara ini pernah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah dengan menulis Minhajus Sunnah.
Buku tersebut memuat firqoh sesat yang merebak pada masa beliau hidup. Beliau paparkan dengan rinci semua hal yang berkaitan dengan firqoh tersebut. Bahkan beliau lebih mengetahui madzhab mereka dari pada mereka sendiri.
Contoh lain dari buku yang memuat tentang firqoh sesat pada saat ini adalah Mausu'ah Muyassaroh. Buku tersebut mengungkap berbagai firqoh sesat yang berkembang kontemporer ini.

Tingkatan Hadits Shohih

Tingkatan Hadits Shohih Dinisbatkan Kepada Shohihain (Bukhori Muslim)

1. Hadits shohih yang diriwayatkan Bukhori Muslim, atau yang biasa disebut dengan muttafaq 'alaihi.
2. Hadits yang diriwayatkan Bukhori tanpa Muslim
3. Hadits yang diriwayatkan Muslim tanpa Bukhori
4. Hadits yang diriwayatkan dengan syarat dari keduanya tanpa keduanya meriyatkannya.
5. Hadits yang diriwayatkan dengan syarat Bukhori tanpa dia meriwayatkannya
6. Hadits yang diriwayatkan dengan syarat Muslim tanpa dia meriwayakannya
7. Hadits shohih selain dari keduanya dan tidak sesuai dengan syarat dari salah satunya.

Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
1. Tidak boleh mengamalkannya secara mutlak
Madzhab pertama tidak memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhoif secara mutlak baik hadits tentang fadhoil (keutamaan) ataupun tentang hukum. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Mu'in, dan Abu Bakar bin al 'Araby mengambil pendapat ini. Sedangkan yang dhohir ini merupakan pendapat al Bukhori dan Muslim sebagaimana yang mereka syaratkan. Ini pula pendapat Ibnu Hazm.
2. Boleh mengamalkan hadits dhoif secara mutlak
Hal ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad radhiyallahu 'anhuma. Mereka berdua berpendapat bahwa hadits dhoif lebih kuat daripada pendapat seseorang oleh karennya mereka memperbolehkannya.
3. Boleh mengamalkannya dalam hal keutamaan, nasehat dan yang semisalnya apabila memenuhi syarat. Syaikh Islam Ibnu Hajar mensyaratkan beberapa hal:
a. Dhoifnya tidak terlalu. Tidak termasuk di dalamnya Kadzab (pendusta), yang tertuduh sebagai pendusta, dan yang terlalu banyak salahnya. Al 'Alay menukil kesepatakan dalam syarat yang pertama ini.
b. Kedudukan hadits tersebut di bawah hadits yang dapat diamalkan.
c. Ketika mengamalkannya tidak berkeyakinan terhadap kuatnya hadits tersebut, tetapi berkeyakinan hati-hati dalam mengamalkannya.

Komparasi hukum:
Tentang pendapat pertama: Tidak diragukan bahwa pendapat pertama merupakan pendapat yang paling selamat, sebab apa yang shohih dari fadhoil (keutamaan), targhib (motivasi), dan tarhib (ancaman) dari Rasulullah  cukuplah bagi kita dari riwayat hadits dhoif. Terlebih lagi hadits tentang keutamaan amal dan akhlak termasuk pondasi agama. Tidak ada bedanya antara hadits dan hadits tentang hukum dilihat dari penetapannya. Semuanya wajib dijadikan sumber apabila khabar tersebut dapat diterima.
Tentang pendapat kedua, Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam Ushul Fatwa Imam Ahmad, mengatakan Imam Ahmad mengambil hadits mursal dan dhoif apabila dalam bab tersebut tidak ada hadits yang dapat dijadikan hujjah. Beliau juga merojihkan hadits dhoif daripada berhujjah dengan qiyas. Ibnu Qoyyim berkata: "Maksud hadits dhoif tersebut bukanlah hadits bathil ataupun mungkar, bukanpula yang di dalamnya perowi yang tertuduh pendusta yangmana tidak diperbolehkan untuk menjadikannya hujjah dan juga beramal dengannya. Akan tetapi hadits dhoif merupakan bagian dari shohih dan bagian dari hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shohih, hasan, dan dhoif, tetapi menjadi shohih dan dhoif. Dan hadits dhoif memiliki beberapa tingkatan. Apabila dalam suatu permasalahan beliau tidak mendapatkan atsar, perkataan shahabat, serta ijma' yang menyelisihinya, maka beramal dengannya lebih diutamakan daripada beramal dengan qiyas. Secara global, tidak ada seorang imampun pasti dia sependapat dengannya dalam hal ini. Tidak ada di antara mereka pasti lebih mengutamakan hadits dhoif daripada qiyas). A'lam Muwaqi'in Juz I hal: 31. Bersamaan dengan ini beliau tidak mengamalkan hadits dhoif kecuali apabila tidak terdapat hadits lain dalam bab ini.
Diriwayatkan dari beliau, Ibnu Mahdi, dan Ibnul Mubarok: (Apabila kita meriwayatkan halal dan haram maka kami sangat ketat, dan apabila meriwayatkan tentang fadhoil dan semisalnya kami lebih longgar).
Kami melihat sebagian manusia memahami apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mahdi, dan Ibnul Mubarok dengan pemahaman yang jauh dari apa yang mereka maksud. Sehingga mereka menyebarkan statement "boleh mengamalkan hadits dhoif" untuk fadhoil amal (keutamaan amal), berdasarkan mudahnya mereka meriwayatkan hadits dhoif tanpa menjelaskan kedhoifannya. Mereka memasukkan beberapa perkara agama yang tidak berdasarkan kepada dalil yang dapat diterima, atau kepada suatu perkara berdasarkan pada hadits dhoif tanpa membedakan antara definisi yang dimaksud oleh para ulama qudama (dahulu) dan ulama mutaakhirin (kontemporer).
Tentang pendapat ketiga, syarat yang ditentukan oleh ulama mutaakhirin dalam mengamalkan hadits dhoif –apabila terpenuhi- tidak menjadikannya sebagai sumber dalam menetapkan hukum syar'I. Cukuplah bagi kita untuk menyandarkan segala sesuatu kepada hadits shohih dan hadits hasan, setelah kita mengetahui perbedaan maksud hadits dhoif dari ulama qudama dan ulama mutaakhirin. Sebab seseorang lebih tenang dalam mengamalkan hadits shohih melebihi hadits yang telah jelas kedhoifannya.

MENATA MASA DEPAN DAKWAH

Perencanaan kegiatan dakwah haruslah sejak awal dilakukan oleh setiap dai. Terlebih mereka menginginkan keberhasilan dalam dakwahnya. Maka, manajemen kegiatan dakwah mutlak dilaksanakan. Bak membangun sebuah bisnis, perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, dan pengawasan harus terus dilakukan. Antara satu kegiatan dan kegiatan lain memiliki korelasi yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Hilangnya salah satu bagian tersebut akan menghambat keberhasilan dakwah.
Oleh karenanya ada tiga alasan diperlukannya manajemen dalam dakwah:

1. Untuk mencapai tujuan. Seorang dai perlu memanage dakwahnya sehingga dakwah yang dilakukan dapat membuahkan hasil nyata sesuai dengan impian dan rencana.
2. Untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan. Kadang seorang dai memiliki tujuan yang saling bertentangan dan hal ini tidak disadari di awal perjalanan namun terasa di pertengahan. Oleh sebab itu, perlunya manajemen yang matang sehingga tujuan yang saling bertentangan dapat dihindarkan sedini mungkin.
3. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Keberhasilan dakwah dapat diukur dengan efisiensi dan efektivitas seorang dai. Efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar sekaligus memaksimalkan hasil yang diperoleh. Sedangkan efektifitas adalah kemampuan untuk memilih cara yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dai yang efektif dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan dan atau metode yang tepat untuk melakukannya.

Hal di atas karena keberhasilan tidak datang dengan begitu saja. Selain itu, seiring dengan perjalanan waktu tantangan hidup semakin kompleks dan harus dikelola dengan sedemikian rupa. Meminjam bahasa bisnis, inovasi harus terus dilakukan, pemasaran semakin digencarkan, penyebaran agen semakin diluaskan, dan iklan pun tak henti-hentinya dipublikasikan.

Dengan kata lain, seorang dai tidak boleh kalah dalam memasarkan “produk”nya. Apalagi orientasi “produk” yang ditawarkan adalah jannah dan ridho-Nya. Bukan hanya untuk kenikmatan dunia semata yang hanya bersifat sementara dan fana.

Sayangnya hal ini tidak terlalu banyak disadari oleh sebagian para dai. Ada di antara mereka yang tidak memperdulikannya sedikitpun. Dakwah dilakukan ala kadarnya, tanpa ada rencana, dan tujuan yang jelas. Laiknya air mengalir tanpa mencoba untuk melakukan perubahan sedikitpun ataupun mengarahkannya ke arah yang lebih baik.

Sarana Dakwah

Di dalam kaidah ushul “al Amru bis Syai’ amru bi wasailihi” (perintah untuk melaksanakan amalan sama halnya perintah untuk mengambil sarananya). Dakwah merupakan perintah Allah, maka mengambil wasilah/sarananya merupakan suatu kelaziman.

Wasilah memiliki arti sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sedangkan wasilah dakwah berarti sarana yang digunakan seorang dai dalam menyampaikan dakwahnya.

Dalam hal ini sarana dakwah konvensional terbagi menjadi tiga:
1. Dakwah bil qoul (lesan)

Dakwah dilakukan sebatas dengan lesan. Dan hal ini dapat berupa; khutbah, mengajar, presentasi materi, diskusi dan debat ilmiyah, amar ma’ruf dan nahi mungkar, untaian nasehat, dakwah fardiyah, fatwa syar’iyah. Sedangkan perkataan dalam bentuk tulisan dapat dilakukan dengan beberapa cara: menulis artikel, risalah, buku kecil, ataupun dengan buletin.

Seorang dai dapat mengambil ataupun mempergunakan salah satu atau beberapa sarana di atas untuk menyampaikan dakwahnya. Karena setiap masa memiliki kekhususan. Yang mana tidak semua cara dapat berlaku untuk semua masa. Oleh karenanya dai bijaksana mengambil salah satu cara yang sesuai dengan masa tersebut.

Ketika menyampaikan materi tersebut, dai dituntuk untuk menyampaikannya dengan jelas. Kata yang digunakan pun tidak boleh mengandung lebih dari satu makna, kebenaran dan kebathilan. Akan haruslah memilih kalimat syar’iyah yang terdapat sesuai dengan al quran dan as-sunnah.

Dakwah dengan lesan memiliki beberapa kelebihan:

- Ini merupakan sunnah rasululllah r dalam berdakwah.

- Di al qur’an terdapat 300 lebih perintah ” قل “ (katakanlah, serulah).

- Merupakan metode paling praktis, sesuai dengan kondisi mad’u.

Sedangkan kekurangan dari dakwah bil lesan adalah:

- Lingkup dakwah lebih sempit dan bersifat lokal

- Penyebarannya relatif lebih lama dari pada sarana lainnya

- Dibutuhkan dai yang menguasai retorika dakwah dengan baik

- Materi yang disampaikan tidak seluas dengan dakwah bil qolam



1. Dakwah bil Amal

Dakwah ini dapat dilakukan dengan menghilangkan kemungkaran yang ada ataupun menolong kebenaran dan memenangkannya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah r :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ( رواه مسلم و أبو داود و النسائي و أحمد )

“Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim, Abu Daud, An Nasai, dan Ahmad )[1]

Selain dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dakwah bil amal dapat dilakukan dengan membangun masjid, membangun universitas islam, membangun ma’had (pesantren), mendirikan perpustakaan umum dilengkapi dengan buku-buku yang bermanfaat dan fasilitas memadai, membangun rumah sakit islam, ataupun membiayai pencetakan buku islami dan membagikannya. Dan hal ini perlu dimanaje dengan sebaik-baiknya. Karena ini semua merupakan salah satu bentuk dakwah ilallah (kepada Allah).

1. Dakwah dengan sirah hasanah (dakwah dengan suri tauladan)

Selain kedua cara di atas, dakwah dengan suri tauladan merupakan cara yang efektif. Bahkan karena terpesona dengan akhlak rasul banyak dari kaum musyrikin yang akhirnya menyatakan masuk islam.

Dus, sebagi pengikutnya, seorang dai dapat memberikan contoh perbuatan terpuji, sifat mulia, perangai baik dan juga komitmennya untuk mengamalkan islam, baik secara dhahir maupun batin. Sehingga setiap gerak-geriknya dapat dijadikan teladan bagi mad’u (objek dakwah). Karena pengaruh dari teladan tersebut lebih mendalam daripada hanya sekedar pengaruh ucapan.

Dan dalam berdakwah bis sirah hasanah harus dibangun atas dua pondasi:

a. Akhlak Mulia

Seperti tawadhu’, menepati janji, amanah, keberanian, shabar, syukur, hilm (lembut), taqwa, sifat malu, suka memaafkan, dermawan, shidq, adil, menjaga lesan, dan juga penyayang.

b. Kesesuaian Antara Perkataan dan Perbuatan.

Yakni setiap perilaku seorang dai haruslah sesuai dengan syar’I. perbuatannya tidak boleh menyelisihi perbuatannya, dan apa yang nampak tidak boleh menyelisihi yang bathin (tidak nampak). Apabila memerintahkan sesuatu maka dia juga melaksanakannya. Dan apabila melarang sesuatu maka dialah yang pertama kali menginggalkannya. Agar apa yang dia sampaikan didengar, bermanfaat bagi orang lain dan juga diikuti. Sedangkan seorang dai yang memerintahkan kepada kebaikan namun tidak melaksanakannya dan melarang dari perbuatan buruk namun dia menerjangnya, maka niscaya akan menjadi batu penghalang dakwahnya.

[1] Diriwayatkan Muslim no. 177 hal. 42, Abu Daud no. 1140 hal. 180, An Nasai no. 5011 hal. 687, dan Ahmad no. 11089 hal. 782