Rabu, 29 April 2009

Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
1. Tidak boleh mengamalkannya secara mutlak
Madzhab pertama tidak memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhoif secara mutlak baik hadits tentang fadhoil (keutamaan) ataupun tentang hukum. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Mu'in, dan Abu Bakar bin al 'Araby mengambil pendapat ini. Sedangkan yang dhohir ini merupakan pendapat al Bukhori dan Muslim sebagaimana yang mereka syaratkan. Ini pula pendapat Ibnu Hazm.
2. Boleh mengamalkan hadits dhoif secara mutlak
Hal ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad radhiyallahu 'anhuma. Mereka berdua berpendapat bahwa hadits dhoif lebih kuat daripada pendapat seseorang oleh karennya mereka memperbolehkannya.
3. Boleh mengamalkannya dalam hal keutamaan, nasehat dan yang semisalnya apabila memenuhi syarat. Syaikh Islam Ibnu Hajar mensyaratkan beberapa hal:
a. Dhoifnya tidak terlalu. Tidak termasuk di dalamnya Kadzab (pendusta), yang tertuduh sebagai pendusta, dan yang terlalu banyak salahnya. Al 'Alay menukil kesepatakan dalam syarat yang pertama ini.
b. Kedudukan hadits tersebut di bawah hadits yang dapat diamalkan.
c. Ketika mengamalkannya tidak berkeyakinan terhadap kuatnya hadits tersebut, tetapi berkeyakinan hati-hati dalam mengamalkannya.

Komparasi hukum:
Tentang pendapat pertama: Tidak diragukan bahwa pendapat pertama merupakan pendapat yang paling selamat, sebab apa yang shohih dari fadhoil (keutamaan), targhib (motivasi), dan tarhib (ancaman) dari Rasulullah  cukuplah bagi kita dari riwayat hadits dhoif. Terlebih lagi hadits tentang keutamaan amal dan akhlak termasuk pondasi agama. Tidak ada bedanya antara hadits dan hadits tentang hukum dilihat dari penetapannya. Semuanya wajib dijadikan sumber apabila khabar tersebut dapat diterima.
Tentang pendapat kedua, Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam Ushul Fatwa Imam Ahmad, mengatakan Imam Ahmad mengambil hadits mursal dan dhoif apabila dalam bab tersebut tidak ada hadits yang dapat dijadikan hujjah. Beliau juga merojihkan hadits dhoif daripada berhujjah dengan qiyas. Ibnu Qoyyim berkata: "Maksud hadits dhoif tersebut bukanlah hadits bathil ataupun mungkar, bukanpula yang di dalamnya perowi yang tertuduh pendusta yangmana tidak diperbolehkan untuk menjadikannya hujjah dan juga beramal dengannya. Akan tetapi hadits dhoif merupakan bagian dari shohih dan bagian dari hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shohih, hasan, dan dhoif, tetapi menjadi shohih dan dhoif. Dan hadits dhoif memiliki beberapa tingkatan. Apabila dalam suatu permasalahan beliau tidak mendapatkan atsar, perkataan shahabat, serta ijma' yang menyelisihinya, maka beramal dengannya lebih diutamakan daripada beramal dengan qiyas. Secara global, tidak ada seorang imampun pasti dia sependapat dengannya dalam hal ini. Tidak ada di antara mereka pasti lebih mengutamakan hadits dhoif daripada qiyas). A'lam Muwaqi'in Juz I hal: 31. Bersamaan dengan ini beliau tidak mengamalkan hadits dhoif kecuali apabila tidak terdapat hadits lain dalam bab ini.
Diriwayatkan dari beliau, Ibnu Mahdi, dan Ibnul Mubarok: (Apabila kita meriwayatkan halal dan haram maka kami sangat ketat, dan apabila meriwayatkan tentang fadhoil dan semisalnya kami lebih longgar).
Kami melihat sebagian manusia memahami apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mahdi, dan Ibnul Mubarok dengan pemahaman yang jauh dari apa yang mereka maksud. Sehingga mereka menyebarkan statement "boleh mengamalkan hadits dhoif" untuk fadhoil amal (keutamaan amal), berdasarkan mudahnya mereka meriwayatkan hadits dhoif tanpa menjelaskan kedhoifannya. Mereka memasukkan beberapa perkara agama yang tidak berdasarkan kepada dalil yang dapat diterima, atau kepada suatu perkara berdasarkan pada hadits dhoif tanpa membedakan antara definisi yang dimaksud oleh para ulama qudama (dahulu) dan ulama mutaakhirin (kontemporer).
Tentang pendapat ketiga, syarat yang ditentukan oleh ulama mutaakhirin dalam mengamalkan hadits dhoif –apabila terpenuhi- tidak menjadikannya sebagai sumber dalam menetapkan hukum syar'I. Cukuplah bagi kita untuk menyandarkan segala sesuatu kepada hadits shohih dan hadits hasan, setelah kita mengetahui perbedaan maksud hadits dhoif dari ulama qudama dan ulama mutaakhirin. Sebab seseorang lebih tenang dalam mengamalkan hadits shohih melebihi hadits yang telah jelas kedhoifannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar