Rabu, 29 April 2009

Sarana Dakwah

Di dalam kaidah ushul “al Amru bis Syai’ amru bi wasailihi” (perintah untuk melaksanakan amalan sama halnya perintah untuk mengambil sarananya). Dakwah merupakan perintah Allah, maka mengambil wasilah/sarananya merupakan suatu kelaziman.

Wasilah memiliki arti sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sedangkan wasilah dakwah berarti sarana yang digunakan seorang dai dalam menyampaikan dakwahnya.

Dalam hal ini sarana dakwah konvensional terbagi menjadi tiga:
1. Dakwah bil qoul (lesan)

Dakwah dilakukan sebatas dengan lesan. Dan hal ini dapat berupa; khutbah, mengajar, presentasi materi, diskusi dan debat ilmiyah, amar ma’ruf dan nahi mungkar, untaian nasehat, dakwah fardiyah, fatwa syar’iyah. Sedangkan perkataan dalam bentuk tulisan dapat dilakukan dengan beberapa cara: menulis artikel, risalah, buku kecil, ataupun dengan buletin.

Seorang dai dapat mengambil ataupun mempergunakan salah satu atau beberapa sarana di atas untuk menyampaikan dakwahnya. Karena setiap masa memiliki kekhususan. Yang mana tidak semua cara dapat berlaku untuk semua masa. Oleh karenanya dai bijaksana mengambil salah satu cara yang sesuai dengan masa tersebut.

Ketika menyampaikan materi tersebut, dai dituntuk untuk menyampaikannya dengan jelas. Kata yang digunakan pun tidak boleh mengandung lebih dari satu makna, kebenaran dan kebathilan. Akan haruslah memilih kalimat syar’iyah yang terdapat sesuai dengan al quran dan as-sunnah.

Dakwah dengan lesan memiliki beberapa kelebihan:

- Ini merupakan sunnah rasululllah r dalam berdakwah.

- Di al qur’an terdapat 300 lebih perintah ” قل “ (katakanlah, serulah).

- Merupakan metode paling praktis, sesuai dengan kondisi mad’u.

Sedangkan kekurangan dari dakwah bil lesan adalah:

- Lingkup dakwah lebih sempit dan bersifat lokal

- Penyebarannya relatif lebih lama dari pada sarana lainnya

- Dibutuhkan dai yang menguasai retorika dakwah dengan baik

- Materi yang disampaikan tidak seluas dengan dakwah bil qolam



1. Dakwah bil Amal

Dakwah ini dapat dilakukan dengan menghilangkan kemungkaran yang ada ataupun menolong kebenaran dan memenangkannya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah r :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ( رواه مسلم و أبو داود و النسائي و أحمد )

“Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim, Abu Daud, An Nasai, dan Ahmad )[1]

Selain dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dakwah bil amal dapat dilakukan dengan membangun masjid, membangun universitas islam, membangun ma’had (pesantren), mendirikan perpustakaan umum dilengkapi dengan buku-buku yang bermanfaat dan fasilitas memadai, membangun rumah sakit islam, ataupun membiayai pencetakan buku islami dan membagikannya. Dan hal ini perlu dimanaje dengan sebaik-baiknya. Karena ini semua merupakan salah satu bentuk dakwah ilallah (kepada Allah).

1. Dakwah dengan sirah hasanah (dakwah dengan suri tauladan)

Selain kedua cara di atas, dakwah dengan suri tauladan merupakan cara yang efektif. Bahkan karena terpesona dengan akhlak rasul banyak dari kaum musyrikin yang akhirnya menyatakan masuk islam.

Dus, sebagi pengikutnya, seorang dai dapat memberikan contoh perbuatan terpuji, sifat mulia, perangai baik dan juga komitmennya untuk mengamalkan islam, baik secara dhahir maupun batin. Sehingga setiap gerak-geriknya dapat dijadikan teladan bagi mad’u (objek dakwah). Karena pengaruh dari teladan tersebut lebih mendalam daripada hanya sekedar pengaruh ucapan.

Dan dalam berdakwah bis sirah hasanah harus dibangun atas dua pondasi:

a. Akhlak Mulia

Seperti tawadhu’, menepati janji, amanah, keberanian, shabar, syukur, hilm (lembut), taqwa, sifat malu, suka memaafkan, dermawan, shidq, adil, menjaga lesan, dan juga penyayang.

b. Kesesuaian Antara Perkataan dan Perbuatan.

Yakni setiap perilaku seorang dai haruslah sesuai dengan syar’I. perbuatannya tidak boleh menyelisihi perbuatannya, dan apa yang nampak tidak boleh menyelisihi yang bathin (tidak nampak). Apabila memerintahkan sesuatu maka dia juga melaksanakannya. Dan apabila melarang sesuatu maka dialah yang pertama kali menginggalkannya. Agar apa yang dia sampaikan didengar, bermanfaat bagi orang lain dan juga diikuti. Sedangkan seorang dai yang memerintahkan kepada kebaikan namun tidak melaksanakannya dan melarang dari perbuatan buruk namun dia menerjangnya, maka niscaya akan menjadi batu penghalang dakwahnya.

[1] Diriwayatkan Muslim no. 177 hal. 42, Abu Daud no. 1140 hal. 180, An Nasai no. 5011 hal. 687, dan Ahmad no. 11089 hal. 782



Tidak ada komentar:

Posting Komentar