Kamis, 06 Agustus 2009

Shaum Bagi Mereka Yang Memiliki Pekerjaan Berat

Seringkali pekerjaan berat dijadikan alasan untuk membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (Al Baqarah: 184)
Namun apakah perkerjaan berat memang menjadi udzur syar'I. Ataukah ayat tersebut diperuntukkan bagi yang lain??


Abu Daud dari Ibnu Abbas meriwayatkan و على الذين يطيقونه ditetapkan bagi wanita hamil dan yang menyusui. Diriwayatkan dirinya juga berkata: merupakan rukhsoh bagi orang tua dan wanita tua dan mereka yang berat untuk berpuasa. Maka mereka berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Begitu juga wanita hamil dan yang menyusui apabila takut atas keselamatan /kesehatan anaknya maka berbuka dan memberi makan satu orang miskin.
Daruqtni meriwayatkan juga darinya dia berkata dirukhsohkan bagi orang tua untuk berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin dan tidak wajib baginya qodho' dan sanad ini shahih.
Diriwayatkan juga darinya bahwasanya dia berkata: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ tidaklah dimansukhkan (dihapuskan) yakni orang tua dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa maka memberi makan satu orang miskin setiap harinya dan ini shahih. Diriwayatkan juga darinya dia berkata bagi seseorang yang memiliki anak baik yang mengandung atau menyusui: kamu termasuk yang tidak mampu.
Hasan al Bashry dan Atho' bin Abi Robah dan Dhohahk, Nakhoi, Azzuhri, Robi'ah, Al Auzaiy, ashhabu ro'yi: wanita hamil dan yang menyusui keduanya ifthor namun tidak memberi makan. Kedudukan mereka seperti kedudukan seorang yang sakit dan mengqodho'nya. Begitu juga perkataan Abu Ubaid dan Abu Tsaur.
Diceritakan dari Abu Ubaid dari Abi Tsaur dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir, dan itu pendapat imam malik bagi yang hamil apabila berbuka. Sedangkan orang yang menyusui apabila berbuka maka wajib qodho dan memberi makan.
Imam Syafi'I dan Ahmad berkata: keduanya berbuka, memberi makan dan mengqodho'nya. Mereka berijma' bahwa masyayikh (orang tua) dan orang yang lemah yang tidamk mampu puasa atau mampu akan tetapi dengan berat maka mereka berbuka.
Diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu bahwa ayat di atas tidak dimansukhkan (dihapuskan). Bahwasanya itu merupakan rukhsoh bagi orang-orang tua dan orang-orang lemah terkhusus apabila mereka tidak mampu berpuasa kecuali dengan berat.
Diriwayatkan dari waki' dari Ibnu Abi Laila dia berkata: aku mendatangi Atho' dan dia sedang makan pada bulan Ramadhan. Kemudian berkata
Dalam tafsir Ath Thobari disebutkan perkataan Qotadah dalam menafsirkan ayat:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Ini merupakan rukhsoh bagi orang tua dan orang lemah yang sudah tua. Sedangkan mereka berat untuk berpuasa. Maka kedua kelompok tersebut memberik makan satu orang miskin dan berbuka. Kemudian ayat ini dinasakh dengan ayat selanjutnya شهر رمضان hingga firman Allah فعدة من أيام أخر . sedangkan ahlul ilmi berpendapat rukhsoh ditetapkan bagi orang tua yang lemah apabila merasa berat ketika berpuasa. Dia berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya. Begitu juga bagi wanita hamil apabila khawatir atas keselamatan janinnya dan bagi yang menyusui apabila takt atas kesehatan anaknya.
Sedangkan dalam fatwa lajnah daimah ada pertanyaan: apakah hukum orang yang menanam tanaman dan masa panennya bertepatan dengan bulan ramadhan. Apakah dia boleh tidak shaum atau tidak? Sebab tidak mungkin baginya berpuasa sekaligus bekerja?
Kemudian dijawab: "Bulan Ramadhan adalah salah satu rukun islam. Juga merupakan kewajiban bagi mukallaf kaum muslimin sesuai dengan ijma'. Sebagaimana firman Allah:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al Baqoroh: 185)
Dia harus menjaga puasa ramadhan dan tidak boleh mempermudah ifthor (berbuka) tanpa udzur syar'i. Sedangkan sawah merupakan di bawah kekuasannya. Dia dapat mengatur waktu kerjanya di sawah. Dia bisa memanennya ketika cuaca dingin di malam hari. Atau memperkerjakan orang lain untuk memanennya. Yang mana pekerjaan tersebut tidak membahayakan puasanya dan memberikan upah yang sebanding. Atau mengakhirkan panennya apabila tidak mendatangkan madharat. Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya akan ada jalan keluar. "
Begitu juga ada pertanyaan: "Saya mendengar khotib dari imam masjid pada jum'at kedua pada bulan ramadhan. Dia memperbolehkan berbuka bagi pekerja yang keberatan karena pekerjaannya, dan dia tidak memiliki pekerjaan selain itu, yakni dengan memberi makan satu orang miskin setiap hari pada bulan ramadhan. Atau apabila diuangkan senilai 15 dirham. Inilah yang mendorong saya untuk menulis risalah (surat) ini. Apakah terdapat dalil shahih dari kitab dan sunnah dalam masalah ini?
Dijawab oleh syaikh: "Seorang mukallaf tidak boleh berbuka pada bulan ramadhan hanya disebabkan dia seorang pekerja. Akan tetapi apaila dia merasa keberatan dan terpaksa untuk berbuka di siang hari maka dia berbuka untuk menghilangkan masyaqoh (sesuatu yang memberatkannya tersebut) kemudian menahan tidak makan hingga terbenamnya matahari dan berbuka bersama manusia lainnya. dan dia wajib untuk mengganti hari di mana dia berbuka. Dan fatwa yang anda sebutkan tidaklah ada dasarnya."
Syaikh Utsaimin menyebutkan bahwa pekerjaan pilot pesawat terbang dan sopir termasuk dalam keumuman ayat:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Al Baqoroh: 185)
"Jika orang yang bekerja sebagai sopir merasa berat untuk menjalankan puasa ramadhan dalam perjalanan karena cuaca panas misalnya, maka ia bisa mengundurkanya pada saat cuaca dingin sehingga ia merasa ringan dan mudah dalam menjalankan pauasa. Yang lebih utama bagi musafir adalah mengerjakan yang paling mudah dan ringan baginya, apakah puasanya atau berbukanya. Jika antara keduanya sama saja, maka berpuasa lebih utama karena hal itu lebih cepat untuk menunaikan tanggungannya dan lebih menggiatkannya ketika orang-orang juga sedang menjalankan puasa. Sebab, ini merupakan perbuatan Nabi n."
Kesimpulan
Menurut penyusun, pendapat yang lebih kuat adalah seorang yang memiliki pekerjaan berat hendaknya tidak berbuka. Dia dapat menyiasatinya dengan mengerjakan pekerjaannya tersebut di waktu yang cuacanya dingin. Ataupun kalau terpaksa untuk berbuka maka sebatas untuk menegakkan tulang punggungnya dan dia melanjutkannya lagi, kemudian berbuka bersama manusia lainnya.

Maroji':
1. Al Jami' li Ahkamil qur'an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshory Al Qurthuby,
2. Fathul Qodir Al Jami' baina Riwayat wa Diroyat min 'ilmi Tafsir, Imam Muhammad bin Aly bin Muhammad Asy Syaukani, Darul Kutub Al Ilmiyah, Cetakan pertama, 1415 H/1994 M.
3. Kajian Ramadhan, terjemahan Majalisu Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Al Qowam, cetakan pertama, Oktober 2003.
4. Jami'ul bayan 'an tawilil qur'an, Imam Ibn Jarir Thobari, Darul Fikr, Cetakan pertama, 1421 H/2001 M.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar